SINGAPURA, alpian.asia – Peta ekonomi dan politik Asia kini berada dalam fase genting. Ketegangan yang terus berlanjut antara Amerika Serikat dan Tiongkok memaksa negara-negara di kawasan, khususnya anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), untuk melakukan kalibrasi ulang yang cermat terhadap strategi ekonomi dan kebijakan luar negeri mereka.
Di tengah ancaman perang dagang baru, persaingan teknologi, dan perebutan pengaruh militer di Laut Cina Selatan, negara-negara Asia tidak bisa lagi hanya menjadi penonton. Mereka kini terdesak untuk memilih—atau setidaknya menyeimbangkan—posisi di antara dua raksasa dunia, sebuah manuver diplomatik dan ekonomi yang penuh risiko namun juga membuka peluang baru.
“Ini adalah era ‘great power competition’ yang paling terasa dampaknya sejak Perang Dingin,” kata Profesor Lee Wei-Shen, analis hubungan internasional dari National University of Singapore, dalam sebuah forum regional, Kamis (25/9/2025). “Bagi ASEAN, netralitas strategis adalah pilihan ideal, namun praktiknya semakin sulit. Setiap keputusan investasi, setiap pakta perdagangan, kini memiliki bobot geopolitik.”
Pergeseran Rantai Pasok dan Peluang Investasi
Salah satu dampak paling nyata dari rivalitas ini adalah pergeseran rantai pasok global. Kebijakan tarif dan pembatasan perdagangan yang diterapkan AS terhadap Tiongkok mendorong banyak perusahaan multinasional untuk mencari basis produksi alternatif demi mengurangi risiko.
Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Indonesia menjadi tujuan utama relokasi ini. Mereka diuntungkan oleh lokasi geografis yang strategis, biaya tenaga kerja yang kompetitif, dan pasar domestik yang besar.
“Kita melihat adanya ‘blessing in disguise’ atau berkah tersembunyi,” ujar seorang pejabat senior dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. “Investasi asing langsung (FDI) di sektor manufaktur, terutama elektronik dan kendaraan listrik, menunjukkan tren peningkatan. Ini adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, asalkan kita bisa menjamin kepastian hukum dan stabilitas.”
Tantangan Kedaulatan dan Keamanan Digital
Di sisi lain, persaingan ini juga membawa tantangan serius. Di bidang teknologi, negara-negara Asia dihadapkan pada dilema dalam pembangunan infrastruktur digital, terutama jaringan 5G. Memilih teknologi dari Tiongkok (seperti Huawei) dapat memicu ketidaksenangan dari AS dan sekutunya, sementara memilih opsi Barat bisa berarti biaya yang lebih tinggi.
Isu kedaulatan di Laut Cina Selatan juga tetap menjadi bara dalam sekam. Klaim Tiongkok yang tumpang tindih dengan beberapa negara anggota ASEAN terus menjadi sumber ketegangan. Negara-negara kawasan dituntut untuk memperkuat persatuan ASEAN agar dapat berbicara dengan satu suara yang lebih kuat dalam menanggapi manuver Tiongkok, sambil tetap menjaga hubungan ekonomi yang krusial dengan Beijing.
Para pemimpin Asia kini harus lihai menavigasi lanskap yang kompleks ini. Keputusan yang diambil dalam beberapa tahun ke depan tidak hanya akan menentukan arah pertumbuhan ekonomi mereka, tetapi juga akan membentuk arsitektur keamanan dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik untuk beberapa dekade mendatang.
(Penulis: Tim Redaksi alpian.asia / Editor: A.S.)